Gaya Hidup Flexing Mulai Ditinggalkan Generasi Z di 2025
4 mins read

Gaya Hidup Flexing Mulai Ditinggalkan Generasi Z di 2025

Pergeseran Nilai di Kalangan Gen Z

Tahun 2025 menjadi titik balik besar dalam budaya anak muda Indonesia. Setelah bertahun-tahun mendominasi media sosial, gaya hidup flexing — pamer barang mewah, liburan glamor, atau pencapaian finansial — mulai ditinggalkan oleh Generasi Z.

Fenomena ini terlihat jelas di platform seperti TikTok dan Instagram. Konten flexing yang dulu viral kini justru kerap menuai komentar sinis dan dianggap tidak empatik terhadap kondisi ekonomi sebagian besar anak muda.

Sebaliknya, konten bertema hidup sederhana, keuangan sehat, dan produktivitas personal justru semakin diminati. Tagar #NoFlex, #RealLife, dan #AntiPamer sering trending dan mendapat jutaan penayangan.


Alasan Gen Z Berhenti Flexing

Ada beberapa alasan utama mengapa generasi Z meninggalkan budaya flexing. Pertama, faktor ekonomi. Banyak anak muda mulai sadar bahwa memburu citra mewah hanya menciptakan tekanan finansial dan utang konsumtif.

Kedua, kelelahan mental. Budaya membandingkan diri di media sosial membuat banyak anak muda mengalami kecemasan, rendah diri, dan burnout. Mereka memilih menampilkan diri secara apa adanya agar lebih damai secara psikologis.

Ketiga, perubahan nilai sosial. Generasi Z makin menghargai kejujuran, kesederhanaan, dan keseimbangan hidup dibanding kemewahan semu. Mereka melihat kesuksesan bukan dari barang mahal, tapi dari kemandirian finansial, keterampilan, dan kontribusi sosial.


Munculnya Budaya Anti-Flexing

Budaya anti-flexing muncul sebagai gerakan sosial di media sosial. Banyak kreator konten Gen Z kini secara terbuka membagikan pengeluaran harian sederhana, tips menabung, hingga perjalanan mereka membangun usaha kecil.

Mereka menekankan bahwa hidup tidak harus selalu terlihat sempurna dan bahwa kegagalan juga bagian wajar dari proses. Konten seperti ini mendapat respons positif karena terasa jujur dan membumi.

Komunitas daring #AntiFlex bahkan bermunculan di berbagai kota, menggelar diskusi tentang literasi keuangan, manajemen stres, dan pentingnya hidup sesuai kemampuan diri sendiri (living within your means).


Dampak Positif bagi Keuangan dan Mental

Peralihan dari flexing ke hidup realistis membawa dampak positif nyata. Banyak anak muda mulai membuat anggaran bulanan, menabung rutin, dan membatasi cicilan konsumtif seperti gadget atau fashion mahal.

Dari sisi mental, tekanan untuk tampil sempurna menurun drastis. Anak muda merasa lebih bebas mengekspresikan diri tanpa takut dibandingkan dengan standar kesuksesan palsu di media sosial.

Fenomena ini juga menurunkan tingkat FOMO (fear of missing out) yang dulu banyak memicu kecemasan sosial dan impulsif membeli barang agar “tidak ketinggalan tren”.


Dampak pada Industri dan Media Sosial

Tren ini memaksa industri, terutama brand fesyen, otomotif, dan lifestyle, menyesuaikan strategi pemasaran mereka. Alih-alih menonjolkan kemewahan, banyak brand kini fokus pada kualitas, keberlanjutan, dan nilai fungsional produk.

Influencer yang hanya mengandalkan pamer kemewahan mulai kehilangan pengikut, sementara influencer yang membahas edukasi finansial, kesehatan mental, dan produktivitas justru naik daun.

Platform media sosial juga mulai menyesuaikan algoritma untuk mengurangi konten flexing berlebihan dan lebih mempromosikan konten edukatif serta inspiratif.


Tantangan Menjaga Konsistensi

Meski tren anti-flexing positif, ada tantangan menjaga konsistensinya. Media sosial masih memberi imbalan besar berupa popularitas pada konten pamer, sehingga sebagian anak muda tergoda kembali.

Selain itu, tekanan sosial dari lingkungan juga masih kuat, terutama di kota besar yang identik dengan simbol status. Diperlukan edukasi berkelanjutan agar budaya sederhana benar-benar mengakar dan bukan hanya tren sesaat.

Sekolah, kampus, dan komunitas perlu aktif mengajarkan literasi finansial dan kesehatan mental agar anak muda tidak mudah kembali ke budaya konsumtif yang merugikan.


Penutup: Gaya Hidup Baru yang Lebih Sehat

Flexing Generasi Z 2025 membuktikan bahwa budaya pamer bukan lagi simbol kesuksesan. Generasi muda Indonesia memilih hidup apa adanya, membangun keuangan sehat, dan fokus pada pertumbuhan diri.

Jika tren ini terus berkembang, Indonesia akan memiliki generasi muda yang lebih tahan krisis, bijak finansial, dan sehat secara mental — sebuah modal penting untuk masa depan bangsa.

Peningkatan FOMO (Fear of Missing Out)

Melihat orang lain yang terus-menerus memamerkan pengalaman menyenangkan bisa meningkatkan FOMO atau ketakutan akan ketinggalan. Ini bisa menyebabkan kecemasan dan dorongan untuk terus terhubung dan mengikuti apa yang orang lain lakukan, yang bisa mengganggu kesejahteraan mental.


📚 Referensi